"Kenapa harus takut gelap kalau ada
banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?" - Nishimura
Kazuto
Sepenggal kalimat di atas adalah kalimat
favorit saya ketika mengenal novel-novel karya penulis terkenal nan bersahaja,
Ilana Tan. Saya jatuh cinta pada karya-karyanya sejak SMA dan sudah
menghatamkan tetralogi novelnya. Unik, menarik, dan selalu membuat dada saya
berdebar ketika menyelami setiap untaian kata yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh
yang ia ciptakan. Entah bagaimana Ilana Tan ini mendesain karakter tokoh pria
di novelnya, herannya mereka-mereka yang tercipta dalam imajinasi ini selalu
membuat saya ingin bergegas mengambil wudhu, tahajud, dan kemudian bersimpuh
memohon untuk segera diturunkan jodoh seperti yang dikisahkan di dalam
novel-novelnya Ilana Tan.
Di antara keempat novel tetraloginya
Ilana Tan ini, yang menjadi novel favorit saya adalah Winter in Tokyo, dengan
tokoh pria utama bernama Nishimura Kazuto. Saking tergila-gilanya dengan sosok
Kazuto, dulunya saya bahkan sempat mencari-cari pemilik akun FB dengan nama
Nishimura Kazuto. Sebenarnya... saya sepenuhnya sadar kok bahwa pemilik akun itu
bukanlah seperti sosok Kazuto yang diceritakan di dalam novel. Tapi, entah
mengapa, saya yang delusionis ini selalu beranggapan tokoh-tokoh imajiner
seperti itu sejatinya bisa ditemukan di dunia nyata. Pemahaman saya yang
seperti itu malah semakin didukung dengan kenyataan bahwa permintaan pertemanan
di FB saya diterima! Kehebohan dan kealayan saya pun semakin memuncak ketika
akhirnya kami saling bertegur sapa melalui dunia maya dan bertukar cerita di
inbox FB. Saya, yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMA dan tinggal
di asrama putri, sontak membuat geger satu asrama karena selalu heboh ketika
mendapatkan pesan balasan dari Kazuto dunia nyata.
Setiap selesai makan malam, saya dan
teman-teman saya yang dulunya pernah membentuk geng pecinta-korea-rada-rada-alay-tapi-unyu-dan-ngehits,
selalu berkumpul untuk membahas hal-hal yang kami anggap penting padahal
sebenarnya tidak penting sama sekali. Misal, membahas gosip terkini hubungan
antara Jessica SNSD dan Donghae Super Junior yang sebenarnya, isu operasi
plastik artis-artis Korea, cowok-cowok ganteng Jepang, tipe-tipe cewek idaman
Super Junior, yang kemudian berlanjut dengan pengakuan sebelah pihak bahwa
kami-kami ini sebenarnya adalah kekasih para Super Junior yang sengaja
disembunyikan identitasnya dari dunia maya agar terjamin kehidupannya dari
kerasnya dunia entertainment dan fans-fans fanatik mereka. (-_-)
Biasanya suara-suara cekikikan kami
inilah yang selalu membahana di tengah-tengah koridor asrama, yang seringnya
ditanggapi dengan senyuman heran atau alis yang terangkat sebelah oleh para
penghuni asrama lainnya. Apalagi, ketika saya mulai membuka inbox FB dan
membacakan pesan-pesan dari Kazuto, si cowok Jepang
yang-mau-bagaimanapun-rupanya-asalkan-Jepang-atau-Korea-bagi-kami-itu-sudah-pasti-tampan
membuat mereka semua terkikik genit. Padahal ya, seingat saya yang ditanya itu
cuma “where are you from?” dan “how do you know me?” Udah,
gitu aja. Tapi efeknya, beuh... mampu membuat kami semua hening sejenak,
terdiam, menghayal dengan pikiran masing-masing, senyum-senyum centil, dan
kemudian berteriak serempak, “UUUHH... SOOO... SWEEET...”
Begitulah kehidupan kelam saya dulunya.
Saya hampir tidak percaya bahwa dulunya saya punya kehidupan seperti itu. (padahal
nyatanya sekarang juga masih begitu -,-).
Baiklah, lupakan tentang masa kelam saya
yang tidak penting ini. Kali ini saya mau fokus ke kata-katanya Nishimura
Kazuto yang di novel.
“Kenapa harus takut gelap kalau ada
banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?”
Hemm... gelap. Kata-kata gelap memang
kebanyakan diartikan dengan hal-hal yang mengerikan, menakutkan, mencekam,
menyedihkan, memiriskan, dan me- me- apalah lainnya yang biasanya bermakna
negatif. Cooper saja bahkan mendefinisikan bahwa tidak ada yang namanya gelap.
Yang ada adalah keadaan tanpa cahaya.
Hm..
sama aja sih sebenernya. Tapi...
suka-suka Cooper juga sih ya. Kan dia yang ngomong? Saya mah minjem definisi
aja biar terkesan intelek. Hahah.
Nah, gelap ini punya arti berbeda
menurut versi saya. Saya suka hal-hal yang gelap. Suasana hati saya nggak tau
kenapa bisa mendadak tenang di dalam kegelapan. Misal, waktu cuaca lagi panas
banget, apalagi di Semarang nih, di kelas rebutan oksigen sama 68 anak lainnya,
mana AC cuma berfungsi sebagai aksesoris doang, ditambah materi perkuliahan
juga semakin mendukung jiwa saya untuk memanas, jadilah hati saya terbakar, gak
mood, gak tenang, bawaannya pengen cepet-cepet balik ke kosan terus nempelin
muka di depan kipas angin. Eh, tiba-tiba langit yang cerah mendadak jadi gelap.
Senyap. Kelam. Kelabu. Sendu. Mood saya drastis langsung berubah. Jadi tenang,
nyaman, adem, dan damai. Malah sumringah.
Hal lainnya. Biasanya di kosan atau di
rumah, kalo mati lampu udah pasti semua bakalan teriak-teriak. Heboh. Nyari
lilin. Lari-lari nyari cahaya. Nah, saya malah seneng banget. Malah diem gitu
gak ada bunyi. Menikmati kegelapan yang bagi saya justru itu terang. Beberapa
menit setelah tenang, baru biasanya saya beranjak untuk menyalakan lilin.
Dan malam. Ini adalah waktu favorit
saya. Waktu yang sangat produktif bagi saya. Saya bisa menulis, bicara,
bercerita, melakukan apa saja yang tidak bisa bebas saya lakukan di siang hari.
Herannya, saya merasa punya dua dunia yang berbeda ketika siang dan malam. Saya bahkan belum menemukan teori yang menjelaskan tentang perubahan sifat
manusia yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Bagi saya malam itu seperti
selimut yang mampu menutupi masalah-masalah yang tercipta di kala siang. Malam itu
seperti mampu menyerap letih dan perih. Malam itu seperti sosok teman yang baik
untuk berbisik.
Memang benar banyak keindahan yang hanya
bisa disaksikan di saat gelap seperti yang dikatakan Kazuto. Keindahan ini
tidak hanya sebatas keindahan langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang
berkelindan. Tidak pula sebatas keindahan aurora yang menari-nari di tengah
pekatnya langit malam. Lebih dari itu. Banyak keindahan yang bisa ditemukan di
saat gelap. Di saat yang lain menolak untuk mengenal gelap, di situlah kita
bisa temukan hal-hal luar biasa yang justru tak dijumpai mereka ketika siang
mulai menyapa. Hanya segelintir saja yang bisa merasakan keindahan itu.
*hening*
Hmmm....
kok jadi serius gini ya. Haha. Kebawa
suasana backsound. Musiknya lagi melo, jadi nulisnya ikut-ikutan melo.
Gara-gara lagunya Magic! sih.(apa hubungannya coba?)
Nah, kesimpulannya gelap menurut saya
nggak selalu diartikan sebagai hal negatif. Gelap adalah sisi lain yang tidak
semua orang mau untuk memasukinya. Karena mereka sudah mempunyai pola pikir
bahwa gelap selalu identik dengan hal-hal yang menakutkan. Gelap memang hanya
bisa disentuh oleh orang-orang yang punya keberanian. Keberanian untuk beralih
dari dunia siang yang terang benderang, yang menyilaukan, yang terkadang justru
lebih memperdaya dan membahayakan. Mungkin ini juga yang membuat saya berpikir
di luar kebiasaan orang-orang kebanyakan.
Di kelas pun saya selalu menjadi bagian
minoritas yang berpikir anti-mainstream. Jika hal itu tidak sesuai dengan
prinsip saya, ya sudah saya tinggalkan. Meskipun yang lainnya
berbondong-bondong menuju jalan yang mereka anggap benar. Saya tetap memilih jalan
yang berlawanan.
Mungkin ini pula yang membuat jalan
pikiran saya berbalik arah. Saya merasa siang adalah waktu di mana hidup saya
penuh dengan tipuan, ketakutan, dan dijejali dengan doktrin-doktrin yang terus
memaksa masuk ke pikiran saya meskipun saya bersikeras menolak. Saya merasa
dilumpuhkan dengan teori-teori yang entah kenapa membuat hidup saya menjadi
tidak bernyawa. Seperti dikendalikan. Seperti mereka-mereka yang menciptakan
teori itulah yang mengontrol hidup dan mengatur masa depan saya. Ingin
berontak. Tapi ini terlalu abstrak. Saya benci sistem yang mereka ciptakan.
Saya benci kehidupan siang. Terkesan baik dan menyenangkan, tetapi justru
paling membahayakan.
Makanya, hidup saya di saat siang tak beda jauh halnya dengan sleepwalker. Raga saya berjalan, tapi tidak dengan jiwanya. Seperti ketika di kampus. Fisik saya memang berpindah dari satu kelas ke kelas lainnya. Tapi tidak demikian dengan jiwa saya yang mengambang entah di mana. Jiwa saya terlalu lelah dengan teori-teori, asumsi-asumsi, dan argumen-argumen yang pada dasarnya memang sengaja didesain untuk mengontrol orang-orang yang terlalu menganggap dunia ini sebagai sesuatu yang fana.
*menghela nafas*
Masih banyak yang ingin saya ceritakan
sebenarnya. Tapi malam sudah terlanjur berbisik, menyerukan saya untuk segera
tidur. Bersiap kembali menyapa pagi dengan diri yang berbeda. Sebagai sleepwalker. Seperti biasa....
1 comments:
jiwa nya pasti sedang asyik di alam mimpi.
sleepwalker itu keren juga ya....
dan gue suka banget sama quote pembuka posting ini. apiik!
Post a Comment