Jan 3, 2015 | By: Unknown

Ramenicha for Rameniacs

こんばんは みんなさん !!
(Konbanwa minna-san!!) 

Selamat tahun baru 2015 untuk teman-teman di manapun berada...

Di kalender saya hari ini sudah memasuki hari ketiga bulan Januari. Tapi mungkin kalender yang saya gunakan sedikit berbeda dengan kalender yang menjadi acuan orang-orang yang hingga kini masih saja menyalakan petasan dengan tidak berperasaan. Sedikit sarkas, tapi jujur saya merasa kesal karena mereka terus menyalakan petasan tanpa memikirkan suasana sekitar. Gak malem, gak siang, bahkan pagi-pagi buta juga saya masih saja mendengar suara petasan bergema. Rasanya sungguh seperti sedang berada di kawasan berkonflik. 

Gara-gara petasan tahun baru juga saya jadi sering kaget. Pas wudhu kaget. Pas tidur kaget. Pas makan kaget. Entahlah siapa itu yang senang menghambur-hamburkan uang dengan bermain petasan. Yang jelas itu sangat-sangat mengganggu terutama di waktu-waktu istirahat. Untuk ukuran saya yang sudah dewasa juga saya masih sering terkejut dengan suara petasan yang membahana, apalagi jika didengar oleh anak-anak atau bahkan bayi yang sedang istirahat. Tentu itu akan sangat mengganggu kesehatan dan kinerja jantung mereka yang masih lemah. Boleh-boleh saja bermain petasan, tapi tetap yang sewajarnya. Detik-detik tahun baru juga sudah lewat, dan alangkah baiknya kalau kita menyambut tahun baru ini justru dengan merenung dan semakin memperbaiki diri. Bukan malah hura-hura dengan tidak mempedulikan sesama. Banyak orang-orang yang bahkan tak sadar tahun telah berganti karena terlalu sedih memikirkan anggota keluarga mereka yang entah di mana akibat kecelakaan Air Asia. Tak hanya itu, berbagai bencana seperti tanah longsor di Banjarnegara, puting beliung di Barru, letusan Gunung Sinabung, semuanya telah merenggut kebahagiaan saudara-saudara kita yang ada di luar sana. Tak seharusnya menyambut tahun baru dengan terlalu larut dalam euforia. Toh, sejatinya hari-hari tetap sama saja. Yang membedakan adalah bagaimana semakin hari sifat dan sikap kita berubah menjadi semakin dewasa.


Beberapa hari sebelumnya, menjelang detik-detik pergantian tahun, saya dan ketiga teman saya berencana hendak makan malam di tempat yang sedikit mahal karena beberapa warung makan murah seperti warteg sudah tutup. Sejujurnya saat itu saya lapar sekali. Tapi saya harus menunggu dua orang teman saya berbelanja di mini market terlebih dahulu. Malam semakin larut. Dan kedua teman saya masih belum muncul. Sejak awal saya memang tak berkeinginan untuk menghabiskan malam tahun baru di luar karena saya sudah berjanji untuk menghabiskan malam pergantian tahun dengan introspeksi diri. Lagipula banyak bencana alam yang dialami negeri ini membuat saya ikut merasa sedih dan merasa tidak sepantasnya untuk terlalu berpuas hati. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 9 malam dan kedua teman saya masih belum datang, saya memutuskan untuk tidak ikut pergi. Itu sudah terlalu larut untuk saya. Meskipun didera rasa lapar, saya akhirnya memutuskan lebih baik untuk tetap berada di kosan dan untungnya masih ada beberapa warung yang melayani jasa delivery makanan. 

Suasana malam itu sudah bisa diduga. Meskipun cuaca sedikit mendung dan berangin, tak menyulutkan semangat para jiwa muda untuk menghabiskan malam tahun baru dengan arak-arakan dan kembang api yang mewah. Kebetulan letak kamar saya berada di lantai dua, sehingga saya dapat dengan mudah menyaksikan suasana meriah dan riuh rendah bunyi terompet serta petasan itu dengan hanya berdiri di balkon jemuran. Sedikit miris ketika kemudian saya kembali ke kamar, dan mata saya kembali terpaku ke layar laptop yang menampilkan headline besar tentang korban pesawat Air Asia. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jika saya yang berada di posisi mereka, para keluarga yang ditinggkalkan. Mungkin saja kesedihan itu akan membuat saya lupa bagaimana caranya tertawa. Sedetik kemudian pikiran saya kembali melayang ke kondisi keluarga saya di Bangka. Saya tak tahu apa yang sedang mereka lakukan sekarang. Tapi saya sangat-sangat bersyukur karena hingga saat ini Allah masih melindungi mereka. Di sisi lain karena perkara petasan tahun baru ini juga, saya jadi bersyukur setidaknya saya tidak sedang berada di Palestina atau negara konflik lainnya. Mendengarkan petasan yang berlarut-larut hingga hari ketiga Januari saja saya sudah kesal karena mengganggu ketenangan saya. Tak bisa dibayangkan bagaimana keadaannya jika saya di Palestina. Tentu mendengarkan hal semacam ini, bahkan lebih dari ini, sudah jadi makanan sehari-hari untuk orang-orang di sana.  Sungguh, ternyata banyak sekali hal-hal yang harus saya syukuri atas semua pemberian Allah. 


Beralih dari pembicaraan seputar petasan, sebenarnya yang ingin saya tulis adalah tentang resolusi saya. Tahun lalu, di awal-awal saya memposting tulisan saya di blog ini, saya hanya punya satu resolusi yaitu menepati janji pada diri sendiri. Cukup sulit ternyata. Selama satu tahun ini mungkin saya baru memenuhi setengahnya. Saya sempat berjanji pada diri saya untuk selalu menulis tiap bulan. Nyatanya, saya melewatkan waktu tiga bulan dengan tidak menulis. Padahal bisa dibilang waktu tiga bulan itu merupakan waktu saya yang paling senggang karena saya menikmati liburan sepenuhnya di rumah. Tapi entah kenapa ketika kepulangan saya dari Korea justru membuat saya tak bermotivasi sehingga membuat malas untuk menulis. Ya, saya menyesal karena lalai dan tidak bisa menepati janji. Terlepas dari resolusi pokok saya untuk menepati janji pada diri sendiri, perjalanan saya selama 2014 bisa dibilang sangat luar biasa. Sungguh, tahun ini benar-benar tahun yang penuh kejutan. Saya bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, berada di tempat yang luar biasa, mencoba menu makanan yang luar biasa, dan berada di musim yang juga luar biasa. Tahun 2014 berlalu begitu cepat. Ingin sekali saya menghabiskan 365 hari-hari saya di tahun 2015 ini dengan perjalanan yang lebih luar biasa dari tahun 2014. 

Jika tahun lalu saya sudah menari-nari di jalanan penuh bunga sakura di Korea, makan tteokbokki sepuasnya, naik subway sendirian, dan jalan-jalan di Myeongdong, tahun ini saya ingin sekali bisa menginjakkan kaki saya ke timbunan salju di Jepang. Atau setidaknya merasakan hembusan angin musim gugur menerpa wajah saya ketika saya sedang menyusuri jalanan di Jepang. Dan tentunya sambil menyesap secangkir sakura tea dan ditemani semangkuk Mouko Tanmen Nakamoto atau spicy ramen yang menggugah selera! Ah... hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat saya menelan ludah. Semoga saja impian saya ini diijabah oleh Allah. Dan tentunya secara gratisan, hehe..







Nah, gara-gara tergila-gila sama ramen ini saya jadi kepikiran pengen bikin usaha kedai ramen di kampung halaman saya yang ada di Bangka. Awalnya bisa kepikiran kayak gini karena saya memang penggila ramen, atau istilah kecenya itu rameniac. Cuma, berhubung sekarang sudah menjelang liburan semester, saya jadi kepikiran gimana nantinya selama dua bulan liburan di rumah itu tiba-tiba saya jadi kangen pengen makan ramen. Beda kalo pas di Semarang. Di sini saya punya banyak pilihan jika mendadak muncul hasrat pengen menikmati mie dengan kuah khas yang menggiurkan itu. Saya bisa saja pergi ke Sushi Story, Wasabi, atau Nagoya. Tapi beda ceritanya kalau saya sudah mudik ke kampung halaman, yang seperti penah saya ceritakan sebelumnya, bahkan mall pun tak ada di kota saya. Apalagi mencari warung yang menjual ramen. Saya rasa satu provinsi pun bahkan tak ada warung atau kedai-kedai yang menjual mie khas Jepang itu. 


Dipikir-pikir, kayaknya kece nih kalo saya bikin usaha sendiri buat jualan ramen. Itung-itung yang pertama se-provinsi. Hehe. Konsep yang sekarang sudah ada di benak saya sih baru usaha kecil-kecilan, paling berupa gerobakan ramen kayak yang di film Naruto. Dan nama yang tiba-tiba muncul di kepala saya ketika memikirkan konsep kedai ramen ini adalah "Ramenicha" :D. Gak tau sih kayaknya pengen aja bikin brand baru yang nyelipin nama sendiri, hehe. Selain itu istilah Ramenicha juga merupakan paduan dari menu ramen dan ocha. Ya.. sepertinya usaha kedai ramen ini akan jadi salah satu list resolusi saya untuk tahun 2015 (^/\^)

Selain bikin usaha sendiri jualan ramen, saya juga sebenernya punya banyak resolusi-resolusi lain. Semoga saja semuanya tercapai. Saya mau skripsi saya sudah selesai di akhir tahun 2015 jadi saya bisa wisuda di awal tahun 2016. Saya juga mau mempersiapkan IELTS minimal score 6.5 dan lulus dengan predikat cumlaude. Sebelum wisuda saya  sudah harus mendaftar di Erasmus Mundus untuk pilihan program Mundus Journalism, Globed Education Policies for Global Development, atau Lifelong Learning Masters. Jika tidak mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, saya mau lolos beasiswa LPDP dengan universitas tujuan University College London atau University of Cambridge (9><)9
Terus dapetin sertifikat A1 bahasa Jerman siapa tau kalo gak kuliah bisa kerja jadi aupair di Jerman.


Ketinggian ya? Gak papa deh, sekalian tinggi aja harapannya, siapa tau salah satunya makbul. hehe ^^
Tapi yang paling pokok untuk tahun ini adalah, saya pengen bikin kedai Ramenicha. Semoga dalam waktu dekat ini bisa tercapai. Amiiin...


Nah, itu resolusiku.  So, what's yours? :)

2 comments:

Jefferson L said...

resolusi saya: pingin jadi avata pengendali emosi.
semoga resolusi mu terkabul semua ya di tahun ini!
ganbatte!

Jefferson L said...

ngomong-ngomong, followback blog saya dong :)

Post a Comment