Dec 26, 2014 | By: Unknown

Fortuna dies Natalis, Mam!!

Imam, adik laki-laki saya satu-satunya, hari ini genap berusia 16 tahun. Saya belum sempat mengirimkan kado untuknya, pun hingga tulisan ini selesai saya masih belum mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Begitulah, kami memang bukan tipikal keluarga yang so sweet, terutama saya dan Imam. Kami jarang sekali ber-so-sweet-so-sweet-ria dengan saling melemparkan ucapan 'happy birthday' ketika salah satu di antara kami ulang tahun, 'semoga cepat sembuh' ketika ada yang sedang sakit, atau 'anak pintar!' ketika kami memperoleh nilai yang baik dalam ujian. Kami memang jarang bermain kata-kata untuk mengungkapkan sesuatu. Kami lebih suka melakukan sesuatu dibandingkan mengucapkan sesuatu. 

Dan makhluk yang palik cuek di keluarga kami tentu saja saya dan Imam. Untungnya Salwa, adik bungsu saya yang paling cerewet sedunia, tidak mengikuti jejak kami berdua. Dia satu-satunya yang paling peduli, paling manis, paling baik, paling cerewet, paling pengertian, dan tentunya paling mau disuruh-suruh di rumah. Ketika saya sedang sakit, Salwa selalu datang ke kamar dan tiduran di sebelah saya. Terkesan sok dewasa, dia menanyai apakah saya sudah sehat dan mau dibawakan makanan apa. Manis sekali. Berbeda posisinya ketika Salwa yang sedang sakit. Justru kami malah datang ke kamarnya dan satu persatu menciumi pipinya yang menggemaskan hingga dia berteriak, hehe (kakak macam apa -_-). Di antara kami bertiga saya rasa justru Salwa lah yang lebih pantas jadi kakak pertama (-.\). Sebenarnya masih banyak cerita lucu tentang adik mungil saya, Salwa. Tapi berhubung hari ini adalah ulang tahun Imam, saya mau bercerita banyak tentang adik laki-laki saya satu ini. 

Saya dan Imam, meskipun wajah kami tak mirip sedikitpun, ternyata kami memiliki banyak kesamaan. Usia kami berbeda 4 tahun, tapi dia tumbuh sangat pesat sehingga sekarang saya justru terlihat seperti adiknya. Sungguh, saya tak menyangka adik kecil saya sudah berubah sejauh ini. Dulu, ketika saya masih SD dan Imam masih TK, saya yang bertugas menjaganya ketika pulang sekolah. Ayah dan ibu saya pergi bekerja dan urusan rumah diserahkan kepada saya. Saya masih ingat bagaimana saya memperlakukan Imam. Saya seringkali menakut-nakutinya, memarahinya, membentaknya, hingga membuatnya menangis. Imam kecil memang hiperaktif dan sangat sangat nakal. Bahkan, beberapa babysitter banyak yang mengundurkan diri karena tak sanggup mengurusi Imam. Tapi andai waktu bisa diulang kembali.... ingin rasanya saya kembali ke masa itu dan menjaga Imam dengan sebaik-baiknya bukan malah membentaknya karena dia nakal. Kesalahan terbesar yang saya lakukan ketika kecil dulu adalah saya sempat membenci Imam...


Entah kenapa sejak Imam lahir saya sudah tak menyukainya. Waktu itu saya merasa semua orang di dunia tak ada lagi yang peduli pada saya. Semua kasih sayang tercurah pada Imam yang lucu. Mata bulatnya yang besar dan hidung kecilnya yang mancung mampu menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Saya yang waktu itu berusia 4 tahun merasa tidak dipedulikan lagi. Saya selalu dibanding-bandingkan dengan Imam sehingga saya merasa dikucilkan... Dari kecil saya memang tumbuh jadi anak yang penyendiri. Dan biasanya ketika semua orang sedang tidur siang, saya keluar rumah dan memilih untuk bermain tanah atau bermain dengan anak ayam.

Ketika Imam sudah mulai masuk TK, saya harus menjaganya. Sebenarnya Imam memang anak yang lucu, hanya saja karena saya terlanjur membencinya karena telah merenggut orang-orang di sekitar saya, saya tak pernah mempedulikan Imam. Imam selalu mengikuti saya dan saya seringkali membentaknya. Dia selalu ingin melakukan apa yang saya lakukan. Tapi saya selalu memarahinya dan terkadang mencubitnya hingga menangis. Dan jika dia sudah menangis, saya akan pergi ke kamar dan menguncinya dari luar hingga tangisnya semakin menjadi. Saya benar-benar tak menyukai Imam. Apalagi ketika buku-buku pelajaran saya jadi korban coretannya, atau majalah Bobo kesayangan saya sering disobek-sobek olehnya. Alat musik saya juga sering diambil olehnya, kertas surat untuk sahabat pena saya pun sering disembunyikannya. Hingga saking kesalnya saya, setiap malam saya selalu berharap untuk tak pernah punya adik laki-laki di dunia ini. 

Ayah dan Ibu saya sudah hampir putus asa menasehati kami karena selalu bertengkar. Bahkan kami sempat ingin dipisahkan dan saya hampir dikirim ke rumah nenek saya di Jogja. Saya rasa itu adalah hal yang paling baik untuk jauh dari Imam. Tapi ibu saya tak setuju karena tak mau berpisah dari anak-anaknya. Dan saya... akhirnya tetap bertahan dengan membenci Imam. Hingga suatu hari.... saya sadar bahwa saya tak mau kehilangan adik laki-laki saya meskipun setiap malam saya selalu berdoa untuk tak pernah lagi melihat Imam di dunia ini.

Waktu itu saya masih kelas 4 SD. Jarak antara sekolah dan rumah saya sangat dekat, hanya menyeberangi jalan raya dan melewati masjid besar. Karena itu saya selalu berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kaki. Siang itu saya adalah siswa terakhir yang keluar dari kelas. Murid-murid lainnya sudah pulang dan dijemput orangtuanya. Jalanan tampak lengang, sehingga saya tak kesulitan untuk menyeberang jalan. Seperti biasanya, saya masuk ke area masjid dan menyusuri jalan menuju rumah. Dari jauh saya bisa melihat Imam dengan baju merahnya berdiri di tengah pintu. Tampaknya dia mendapatkan Bobo baru dan ingin memerkannya pada saya. Sayangnya saya tak peduli. 
Imam tampaknya tak sabar melihat saya yang belum juga tiba di rumah hingga dia berteriak-teriak dan menyuruh saya agar cepat sampai. Saya justru menahan langkah saya untuk tak cepat-cepat tiba di rumah, sengaja saya ingin membuatnya kesal. Imam semakin tak sabar. Dia kembali berteriak-teriak dan bilang kalau bonus majalah Bobo mau diberikannya untuk saya. Dalam hati saya mencelos. Bukannya itu memang majalah saya?

Terlihat Imam mulai turun dari tangga dan hendak menyeberang jalan menghampiri saya. Dia masih melambai-lambaikan majalah Bobo di tangan kanannya. Saya tercekat. Imam sudah ada di pinggir jalan. Saya mempercepat langkah saya dan berteriak agar Imam tak usah menyeberang. Suasana siang itu memang sepi, bahkan tak ada satupun motor yang lewat di jalanan. Tapi, entah kenapa saya sangat takut Imam akan melanjutkan langkahnya. Sedetik kemudian tanpa saya sempat berpikir lebih jauh, Imam sudah berlari ke tengah jalan. Tiba-tiba saja dari ujung jalan muncul motor dengan kecepatan tinggi yang lantas langsung menabrak tubuh mungil Imam. Semua kejadian ini berlangsung begitu cepat. 

Saya tahu saya memang lemah di bidang olahraga, tapi entah dapat kekuatan dari mana saya merasa saat itu saya adalah seorang pelari tercepat di dunia. Saya berlari secepat mungkin dan merengkuh tubuh Imam yang terguling-guling di atas aspal. Si pengendara motor tadi semakin mempercepat lajunya tanpa mengkhawatirkan kondisi Imam. Saya tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha melemparkan batu ke arah pengendara motor tadi. Herannya lagi saat itu tak ada satupun yang lewat, suasana sunguh sangat sepi. Saya berteriak sejadi-jadinya melihat kepala Imam bercucuran darah. Sedihnya lagi, dia masih memegang erat majalah Bobo di tangan kanannya. Saya takut... saya takut Tuhan mengabulkan permohonan saya untuk tak pernah punya adik laki-laki lagi. Saya menangis sambil menggendong Imam ke rumah. Saya takut adik saya pergi... saya takut sekali hingga badan saya bergetar hebat. Tak henti-hentinya saya berjanji untuk menyayangi Imam. Tak henti-hentinya saya melontarkan doa yang saya hapal agar Imam segera sadar. 

Saya sudah tak kuat lagi berteriak hingga Ibu saya keluar dari rumah dan kaget setengah mati melihat kondisi Imam. Benar-benar tak ada siapapun saat itu yang bisa dimintai tolong. Tetangga-tetangga pun semuanya tak ada di tempat. Hingga akhirnya Ibu saya segera berlari membopong Imam ke rumah sakit terdekat, sementara saya tinggal di rumah dan terus mendoakan Imam.

Sejak kejadian itu saya sepenuhnya berubah. Saya tak lagi membenci Imam dan mulai mengalah. Saya baru sadar ternyata selama ini Imam justru sangat menyayangi saya. Dia selalu membagi apapun yang dia miliki untuk saya. Menyisihkan makanannya meskipun cuma sedikit. Selalu mengingat-ingat saya di manapun dia berada meskipun dulunya saya bahkan tak pernah mempedulikannya. Saya bersyukur memiliki adik yang  ketika masih kecil pun terlihat jelas bahwa dia memang menyayangi saya. 

Hingga ketika saya masuk SMP dan tak lagi tinggal di rumah, Imam masih menunjukkan rasa sayangnya. Ya, meskipun dia tidak pernah mengatakannya langsung. Tapi dia menuliskan secarik surat untuk saya. Sungguh lucu melihat Imam yang di mata kebanyakan orang adalah anak yang nakal yang tak bisa diatur, justru bisa menuliskan surat pertamanya untuk saya... dengan bahasa yang sungguh membuat saya tak menyangka bahwa dia merindukan saya.

Dari SMP, lanjut ke SMA, dan hingga kini saya kuliah, saya memang tak lagi tinggal di rumah. Untungnya kemudian muncul Salwa yang menjadi teman Imam meskipun mereka berdua juga seringkali bertengkar. Kami memang tak pernah menggunakan kata-kata, tapi saya tau bahwa kami semua sebenarnya saling menyayangi meskipun tak pernah terucap dari mulut masing-masing.

Kini Imam sudah beranjak dewasa. Di usianya yang sudah 16 tahun, dia terlihat banyak berubah dan tak lagi nakal seperti dulunya. Imam tumbuh jadi anak yang lebih pendiam dari teman-teman sebayanya. Yang saya perhatikan Imam memang tampak berbeda. Untungnya jika dibandingkan dengan anak laki-laki seusianya, dia tak banyak menuntut orang tua. Jika ingin membeli sesuatu, dia selalu menggunakan tabungannya. Baik itu HP, hardware laptop, hingga aksesoris motor. Dan yang membuat saya senang adalah.. dia selalu mendengarkan nasihat saya meskipun tampaknya dia tak pernah peduli.



Untuk Imam... 

Selamat ulang tahun adik kecilku....
Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu...
Semoga Allah selalu melindungimu...
Semoga rezeki selalu tercurah kepadamu...
Jaga mamak dan bapak selama mbak Icha jauh...

DI usia 16 tahun ini... Semoga selalu jadi adik yang baik...
Rajin ibadah, rajin sholat, dan rajin mengaji...
Jangan lupa belajar, main game online nya dikurangi...
Jangan sering bikin Salwa nangis...
Oya, handbody mbak Icha di kamar juga jangan dihabisin...
Ntar kalo uda pulang, mbak Icha traktir hehe

Dari kakakmu yang sangat-sangat menyayangimu...


















0 comments:

Post a Comment