Mar 26, 2015 | By: Unknown

Who am I?

Ada hal-hal yang bisa dipelajari, bahkan dari orang mati. ― Ser Waymar Royce

Kusandarkan kepalaku ke tumpukan batu Ordovisium dan membiarkan tubuhku tergeletak di atas rerumputan hijau. Berada di ketinggian hampir 2.000 kaki membuatku merasa tenang. Setidaknya di sini hanya ada aku dan pikiranku, juga teriakan burung camar yang terdengar seperti mengadu. Angin mulai berhembus perlahan, membuat beberapa pohon kering dan rerumputan ikut bergoyang. Kau tahu, ini pertanda bahwa alam sedang ingin bercengkrama denganmu.

Inilah yang disebut Cadair Idris, gunung yang terletak di sebelah selatan Snowdonia. Aku tak ingin beranjak dari tempat ini sekarang. Gunung yang berdiri kokoh di Gwynedd, Wales, ini mampu membius rasa sakitku. Mengerti maksudku, kan? Tak ada penderitaan fisik yang lebih menyakitkan dibandingkan dengan sakit yang mendiami hatimu. Kau yang pernah merasakannya mungkin akan berpendapat sama. Tapi kujamin, di sini kau bisa temukan penawarnya. Entahlah, aku tak yakin apa ini ada unsur mistis atau tidak. Namun, satu hal yang pasti akan kau rasakan. Kau akan mengerti apa itu kedamaian.

Berdirilah di Penygadair, puncak Cadair Idris. Kau akan menyaksikan langit biru dan gumpalan awan putihnya seperti sedang memelukmu. Matamu akan terpaku menyapu pemandangan dinding batuan Rhyolite Craig Cau yang mencuat dari bawah, mengitari danau biru Llyn Gadair yang dramatis. Terasa sempurna ketika kau menyadari terbentang rerumputan hijau yang sedang menyapamu. Dan―oh! Berjalanlah ke arah selatan. Dari sana kau bisa melihat Mawddach Estuary, pantai di Barmouth, dan juga Cregennen Lakes. Andai saja saat ini Mom bersamaku, dia pasti akan―ah, sudahlah.


Angin semilir mulai menggodaku untuk tertidur. Hampir saja terlelap, sayup-sayup terdengar suara gemerisik dari jauh. Sepertinya ada orang yang sedang menuju kemari.
“Bagaimana menurutmu, eh? Bukankah dia sangat mengagumkan?” terdengar suara wanita dari kejauhan.
“Siapa?” balas suara lainnya. Seorang pria.
“Oh, demi mataku yang sudah hilang, kau ini memang payah,” si wanita mendengus kesal.
“Ya, Ser Waymar Royce. Kau pasti tergila-gila padanya,” jawab si pria tak berminat. “Bangsawan itu pasti menyesal telah mengabaikan Will dan Gared. White Walker telah membuat hidupnya berakhir.”
“Dia itu pemberani, Bodoh!” si wanita tampaknya tidak terima. “Oh, betapa berkarismanya dia. Ketika masih hidup pun dia berkata ada banyak hal untuk dipelajari, bahkan dari orang mati. Aku―yang sudah mati ini―merasa tersanjung.” si wanita malah tertawa genit.
 “Kuharap ini tugas terakhirku bersamamu.” gerutu si pria.

Sepertinya aku mengenal suara ini. Aku memasang telinga baik-baik, untuk memastikan. Mereka terdengar semakin mendekat. Tiba-tiba si wanita berteriak. Suaranya melengking mengerikan. “Macsen, dia di sana!”

Aku terkesiap. Dua hantu penasaran itu―astaga, mereka masih saja mengikutiku. Aku berusaha bangkit, tapi kakiku masih lemah. Mendaki Cadair Idris sendirian bukanlah hal yang mudah.
Miss Bamford, kita bertemu lagi, heh?” si pria menyeringai lebar.
Aku menelan ludah. Mereka sudah berdiri di hadapanku! Entah sejak kapan aku punya kemampuan ini, tapi kurasa bisa melihat makhluk halus bukanlah hal yang kusuka. Meskipun kuakui, aku suka meneliti tentang mereka.

Macsen, si hantu pria, tulang lehernya bergemeletak. Dia memposisikan kepalanya yang patah kembali normal. Dan Llinos, hantu wanita yang kehilangan kedua bola matanya, tersenyum menyedihkan―melayang mendekat ke arahku.
“Kenapa kalian terus mengejarku?” tanyaku kesal. Alih-alih merasa takut, aku malah merasa terganggu. Sejak di kota Dolgellau, di padang Afon Fawnog, hingga di Penygadair, mereka selalu muncul mengikutiku.
“Oh, Dear. Kami hanya ingin membantu,” Llinos duduk di sebelah kananku. Disusul Macsen di sebelah kiri. Aku pasrah. Terlalu lelah membuat kakiku jadi mati rasa.
“Kudengar, dulunya seorang pangeran dari abad ke-7 Meirionnydd memenangkan pertempuran melawan pasukan Irlandia di sini. Orang-orang Welsh menyebutnya Idris ap Gwyddno atau Idris Raksasa. Itulah mengapa disebut Cadair Idris.” Macsen mulai bersuara. “Kau tahu, bermalam di sini akan membuatmu tak bisa bangun keesokan harinya.” dia menoleh ke arahku. Aku menahan senyum. Bodoh, semalam aku tidur di sini. Dan lihat? Aku baik-baik saja.
“Itu hanya mitos.” kataku.
Macsen dan Llinos saling lirik. Sudah kuduga, mereka hanya berniat menggangguku saja. Tapi, kupikir tak ada salahnya juga bicara pada mereka.
“Lalu, apa yang membuat kalian mati penasaran?” tanyaku.
“Kreativitas―kurasa.” jawab Macsen lirih. Aku mengernyitkan dahi, menunggu kata-kata selanjutnya.
 “Aku seorang arsitek, teman, sekaligus pengagum berat pemahat terkenal Antony Gormley. Kau tahu patung Angel of North di Gateshead, kan? Aku menginspirasinya. Semenjak itu kupikir karirku akan cerah karena dia mengajakku bekerjasama di beberapa proyeknya. Tapi, aku justru terbunuh. Rawlins, sainganku, mendorongku dari lantai 10 di suatu proyek. Ia mendesain kejadian itu seperti sebuah kecelakaan. Sekarang kutu busuk itu menjadi partner Antony Gormley.” Macsen mengakhiri ceritanya. Lehernya bergemeletak.
Aku mengangguk-angguk. Ternyata kreativitas tak hanya bisa membuatmu hebat, kau bahkan bisa membunuh dengan kreativitasmu.
Creativity is great!” gumamku.

Aku melirik ke arah Llinos. Menunggu wanita itu memulai ceritanya.
“Omong-omong tentang kreativitas, kematian menjumpaiku di bangunan terhebat di Wales.” Llinos menatapku. Aku hanya bisa melihat rongga matanya yang hitam pekat. “Aku bunuh diri di Pontcysyllte Aqueduct, saluran air tertinggi dan terpanjang di Britain yang menghubungkan Desa Froncysyllte dan Trevor. Aku... tenggelam di Sungai Dee. Alasan klasik, semua kulakukan karena patah hati.” lanjutnya.

Tiba-tiba semua menjadi hening. Hanya terdengar ranting-ranting pohon oak kering yang bergesekan. Kedua hantu ini membuatku berpikir tentang Mom, tak seharusnya aku menyia-nyiakannya. Meskipun sulit rasanya untuk yakin bahwa Mom bisa sembuh dari penyakit gila yang menyerangnya. Sindrom Cotard―Walking Corpse Syndrome―telah membuat Mom mati rasa. Membuat Mom berpikir bahwa dirinya sudah mati, tanpa jiwa seperti zombi.

“Hidup dan mati, keduanya kadang sulit dibedakan.” ujarku memecah keheningan. “Ada yang mati tapi jiwanya tetap hidup, adapula yang hidup tapi jiwanya sudah mati.”
Macsen dan Llinos kembali berpandangan.
Kulihat langit mulai memerah. Sudah saatnya aku turun. Melewati rute Fox’s Path akan membantuku tiba di Dolgellau lebih cepat.
“Baiklah, aku harus pulang.” kuraih carrier-ku dan bangkit dari rerumputan. Tubuhku terasa lebih ringan kali ini.
Tiba-tiba Macsen menahanku. Aku kaget. Bukankah seharusnya mereka tak bisa menyentuhku?
“Kau salah jalan,” katanya. Matanya mengerling ke arah batu terbesar di ujung Penygadair. “Portal itu akan membawa kita pulang lebih cepat.”

Aku mau protes, tapi Llinos sudah mengarahkan telunjuknya ke arah jurang. Aku tercekat. Bagaimana mungkin tubuhku bisa terbujur kaku di bawah sana? Belum hilang rasa heranku, kurasakan diriku semakin ringan dan mengambang. Macsen dan Llinos segera menggamit kedua lenganku.
“Selamat datang, Valda Bamford. Let’s go home.

***

Karakter favorit dalam serial Game of Thrones

Jon Snow, sosok yang karismatik, penuh empati, peduli, rendah hati, dan gigih. Sejak awal mengenal Game of Thrones saya sudah meletakkan hati saya pada Jon Snow karena karakter yang dimilikinya sangat kuat. Dari Jon Snow, saya belajar tentang kehidupan. Yaitu belajarlah merendah, sampai orang-orang tak lagi bisa merendahkanmu. 

0 comments:

Post a Comment