Apr 8, 2015 | By: Unknown

Sleepwalker

"Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?" - Nishimura Kazuto

Sepenggal kalimat di atas adalah kalimat favorit saya ketika mengenal novel-novel karya penulis terkenal nan bersahaja, Ilana Tan. Saya jatuh cinta pada karya-karyanya sejak SMA dan sudah menghatamkan tetralogi novelnya. Unik, menarik, dan selalu membuat dada saya berdebar ketika menyelami setiap untaian kata yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang ia ciptakan. Entah bagaimana Ilana Tan ini mendesain karakter tokoh pria di novelnya, herannya mereka-mereka yang tercipta dalam imajinasi ini selalu membuat saya ingin bergegas mengambil wudhu, tahajud, dan kemudian bersimpuh memohon untuk segera diturunkan jodoh seperti yang dikisahkan di dalam novel-novelnya Ilana Tan.

Di antara keempat novel tetraloginya Ilana Tan ini, yang menjadi novel favorit saya adalah Winter in Tokyo, dengan tokoh pria utama bernama Nishimura Kazuto. Saking tergila-gilanya dengan sosok Kazuto, dulunya saya bahkan sempat mencari-cari pemilik akun FB dengan nama Nishimura Kazuto. Sebenarnya... saya sepenuhnya sadar kok bahwa pemilik akun itu bukanlah seperti sosok Kazuto yang diceritakan di dalam novel. Tapi, entah mengapa, saya yang delusionis ini selalu beranggapan tokoh-tokoh imajiner seperti itu sejatinya bisa ditemukan di dunia nyata. Pemahaman saya yang seperti itu malah semakin didukung dengan kenyataan bahwa permintaan pertemanan di FB saya diterima! Kehebohan dan kealayan saya pun semakin memuncak ketika akhirnya kami saling bertegur sapa melalui dunia maya dan bertukar cerita di inbox FB.  Saya, yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMA dan tinggal di asrama putri, sontak membuat geger satu asrama karena selalu heboh ketika mendapatkan pesan balasan dari Kazuto dunia nyata.


Setiap selesai makan malam, saya dan teman-teman saya yang dulunya pernah membentuk geng pecinta-korea-rada-rada-alay-tapi-unyu-dan-ngehits, selalu berkumpul untuk membahas hal-hal yang kami anggap penting padahal sebenarnya tidak penting sama sekali. Misal, membahas gosip terkini hubungan antara Jessica SNSD dan Donghae Super Junior yang sebenarnya, isu operasi plastik artis-artis Korea, cowok-cowok ganteng Jepang, tipe-tipe cewek idaman Super Junior, yang kemudian berlanjut dengan pengakuan sebelah pihak bahwa kami-kami ini sebenarnya adalah kekasih para Super Junior yang sengaja disembunyikan identitasnya dari dunia maya agar terjamin kehidupannya dari kerasnya dunia entertainment dan fans-fans fanatik mereka. (-_-)

Biasanya suara-suara cekikikan kami inilah yang selalu membahana di tengah-tengah koridor asrama, yang seringnya ditanggapi dengan senyuman heran atau alis yang terangkat sebelah oleh para penghuni asrama lainnya. Apalagi, ketika saya mulai membuka inbox FB dan membacakan pesan-pesan dari Kazuto, si cowok Jepang yang-mau-bagaimanapun-rupanya-asalkan-Jepang-atau-Korea-bagi-kami-itu-sudah-pasti-tampan membuat mereka semua terkikik genit. Padahal ya, seingat saya yang ditanya itu cuma “where are you from?” dan “how do you know me?” Udah, gitu aja. Tapi efeknya, beuh... mampu membuat kami semua hening sejenak, terdiam, menghayal dengan pikiran masing-masing, senyum-senyum centil, dan kemudian berteriak serempak, “UUUHH... SOOO... SWEEET...”

Begitulah kehidupan kelam saya dulunya. Saya hampir tidak percaya bahwa dulunya saya punya kehidupan seperti itu. (padahal nyatanya sekarang juga masih begitu -,-).

Baiklah, lupakan tentang masa kelam saya yang tidak penting ini. Kali ini saya mau fokus ke kata-katanya Nishimura Kazuto yang di novel.

“Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?”

Hemm... gelap. Kata-kata gelap memang kebanyakan diartikan dengan hal-hal yang mengerikan, menakutkan, mencekam, menyedihkan, memiriskan, dan me- me- apalah lainnya yang biasanya bermakna negatif. Cooper saja bahkan mendefinisikan bahwa tidak ada yang namanya gelap. Yang ada adalah keadaan tanpa cahaya.

Hm.. 

sama aja sih sebenernya. Tapi... suka-suka Cooper juga sih ya. Kan dia yang ngomong? Saya mah minjem definisi aja biar terkesan intelek. Hahah.

Nah, gelap ini punya arti berbeda menurut versi saya. Saya suka hal-hal yang gelap. Suasana hati saya nggak tau kenapa bisa mendadak tenang di dalam kegelapan. Misal, waktu cuaca lagi panas banget, apalagi di Semarang nih, di kelas rebutan oksigen sama 68 anak lainnya, mana AC cuma berfungsi sebagai aksesoris doang, ditambah materi perkuliahan juga semakin mendukung jiwa saya untuk memanas, jadilah hati saya terbakar, gak mood, gak tenang, bawaannya pengen cepet-cepet balik ke kosan terus nempelin muka di depan kipas angin. Eh, tiba-tiba langit yang cerah mendadak jadi gelap. Senyap. Kelam. Kelabu. Sendu. Mood saya drastis langsung berubah. Jadi tenang, nyaman, adem, dan damai. Malah sumringah.

Hal lainnya. Biasanya di kosan atau di rumah, kalo mati lampu udah pasti semua bakalan teriak-teriak. Heboh. Nyari lilin. Lari-lari nyari cahaya. Nah, saya malah seneng banget. Malah diem gitu gak ada bunyi. Menikmati kegelapan yang bagi saya justru itu terang. Beberapa menit setelah tenang, baru biasanya saya beranjak untuk menyalakan lilin.

Dan malam. Ini adalah waktu favorit saya. Waktu yang sangat produktif bagi saya. Saya bisa menulis, bicara, bercerita, melakukan apa saja yang tidak bisa bebas saya lakukan di siang hari. Herannya, saya merasa punya dua dunia yang berbeda ketika siang dan malam. Saya bahkan belum menemukan teori yang menjelaskan tentang perubahan sifat manusia yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya.  Bagi saya malam itu seperti selimut yang mampu menutupi masalah-masalah yang tercipta di kala siang. Malam itu seperti mampu menyerap letih dan perih. Malam itu seperti sosok teman yang baik untuk berbisik.

Memang benar banyak keindahan yang hanya bisa disaksikan di saat gelap seperti yang dikatakan Kazuto. Keindahan ini tidak hanya sebatas keindahan langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang berkelindan. Tidak pula sebatas keindahan aurora yang menari-nari di tengah pekatnya langit malam. Lebih dari itu. Banyak keindahan yang bisa ditemukan di saat gelap. Di saat yang lain menolak untuk mengenal gelap, di situlah kita bisa temukan hal-hal luar biasa yang justru tak dijumpai mereka ketika siang mulai menyapa. Hanya segelintir saja yang bisa merasakan keindahan itu.

*hening*

Hmmm....
kok jadi serius gini ya. Haha. Kebawa suasana backsound. Musiknya lagi melo, jadi nulisnya ikut-ikutan melo. Gara-gara lagunya Magic! sih.(apa hubungannya coba?)

Nah, kesimpulannya gelap menurut saya nggak selalu diartikan sebagai hal negatif. Gelap adalah sisi lain yang tidak semua orang mau untuk memasukinya. Karena mereka sudah mempunyai pola pikir bahwa gelap selalu identik dengan hal-hal yang menakutkan. Gelap memang hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang punya keberanian. Keberanian untuk beralih dari dunia siang yang terang benderang, yang menyilaukan, yang terkadang justru lebih memperdaya dan membahayakan. Mungkin ini juga yang membuat saya berpikir di luar kebiasaan orang-orang kebanyakan.

Di kelas pun saya selalu menjadi bagian minoritas yang berpikir anti-mainstream. Jika hal itu tidak sesuai dengan prinsip saya, ya sudah saya tinggalkan. Meskipun yang lainnya berbondong-bondong menuju jalan yang mereka anggap benar. Saya tetap memilih jalan yang berlawanan.

Mungkin ini pula yang membuat jalan pikiran saya berbalik arah. Saya merasa siang adalah waktu di mana hidup saya penuh dengan tipuan, ketakutan, dan dijejali dengan doktrin-doktrin yang terus memaksa masuk ke pikiran saya meskipun saya bersikeras menolak. Saya merasa dilumpuhkan dengan teori-teori yang entah kenapa membuat hidup saya menjadi tidak bernyawa. Seperti dikendalikan. Seperti mereka-mereka yang menciptakan teori itulah yang mengontrol hidup dan mengatur masa depan saya. Ingin berontak. Tapi ini terlalu abstrak. Saya benci sistem yang mereka ciptakan. Saya benci kehidupan siang. Terkesan baik dan menyenangkan, tetapi justru paling membahayakan.

Makanya, hidup saya di saat siang tak beda jauh halnya dengan sleepwalker. Raga saya berjalan, tapi tidak dengan jiwanya. Seperti ketika di kampus. Fisik saya memang berpindah dari satu kelas ke kelas lainnya. Tapi tidak demikian dengan jiwa saya yang mengambang entah di mana. Jiwa saya terlalu lelah dengan teori-teori, asumsi-asumsi, dan argumen-argumen yang pada dasarnya memang sengaja didesain untuk mengontrol orang-orang yang terlalu menganggap dunia ini sebagai sesuatu yang fana. 

*menghela nafas*

    Masih banyak yang ingin saya ceritakan sebenarnya. Tapi malam sudah terlanjur berbisik, menyerukan saya untuk segera tidur. Bersiap kembali menyapa pagi dengan diri yang berbeda. Sebagai sleepwalker. Seperti biasa....


1 comments:

Jefferson L said...

jiwa nya pasti sedang asyik di alam mimpi.
sleepwalker itu keren juga ya....
dan gue suka banget sama quote pembuka posting ini. apiik!

Post a Comment