Apr 16, 2015 | By: Unknown

Hyperthymesiac's Undelivered Letter

Untuk teman kecil sekaligus sepupuku, 
Yang tak lama lagi akan memulai lembaran baru bersama dia yang telah berhasil menemukanmu sebagai penyempurna tulang rusuknya...

Ketika mendengar berita ini dari ibu, yang kulakukan pertama kali adalah diam.
Diam untuk sejenak, hingga tak sadar diamku justru mendesak sistem limbik untuk mengeluarkan beberapa tetes lakrimal.
Bukan, bukannya sedih. Aku bahagia untukmu. Sungguh bahagia.
Saking bahagianya aku harus bersembunyi di balik pintu kamar agar ibuku tak tahu bahwa mataku mulai memerah. Kau tau kan, pantang bagiku untuk terlihat seperti itu di depan ibu.


Di kamar, di tempat favoritku, di tepi jendela, sebuah kotak pandora tiba-tiba terbuka di salah satu sudut otakku. Membawaku ke masa 20 tahun lalu... ketika satu-satunya hal yang kita ketahui saat itu adalah tentang kebahagiaan.

Sepupuku... 
Usia kita sama, hanya terpaut jarak dua bulan yang dipisahkan oleh bulan ke-lima. Kita tumbuh bersama, belajar bersama, makan bersama, tidur bersama, semuanya nyaris kita lakukan bersama-sama. Bahkan kita pun ditakdirkan sama sebagai anak pertama yang harus bertanggungjawab terhadap adik-adiknya. 

Terlepas dari kesamaan itu, ternyata kita tetap berbeda...
Di usiamu yang sangat belia kau tampak lebih dewasa, kau tumbuh menjadi anak perempuan yang sangat manis dengan mata bulat indah dan rambut panjang ikal yang sempurna. Sangat menawan, layaknya seorang putri raja. 

Sementara aku... sosok anak perempuan tinggi dengan potongan rambut yang tak pernah melewati batas telinga ini, lebih memilih untuk jadi bayanganmu saja. Bagaimanapun, aku akan selalu berada di belakangmu. Selain untuk melindungimu, itu karena sudah biasa bagiku diperlakukan sebagai urutan yang kedua...

Ironis ya? Tapi sudahlah, kau pasti tidak tau bagaimana rasanya. Cukup aku saja yang mengerti. Sudah kuputuskan untuk mengalah, sejak aku mengenalmu dan sejak kelahiran adikku. Sudah sangat biasa bagiku untuk tertawa hanya dalam bayangan saja. Tak perlu menatapku miris seperti itu. Ini adalah kebahagiaan untukku. Setidaknya, sampai aku menyadari bahwa memang tak ada yang melihat sepenuhnya padaku. Sebagai yang kedua aku hanya mendapatkan sisa, yang seadanya saja. Satu-satunya temanku saat itu adalah kesendirian. Dia selalu mengikutiku ke manapun dan di manapun hingga aku jengah, dan akhirnya kuputuskan saja untuk berubah...

Maaf sepupuku...
Tak ada maksud untuk mengambil posisimu. Aku masih tetap di belakangmu. Berdiri dan melindungimu. Hingga saat ini bahkan. Tapi waktu telah memakan sisa-sisa tawa masa kecil kita. Sulit bagiku untuk mengisahkan perjalanan hidup ini agar kau mengerti bahwa sungguh aku merindukanmu. 

Sejak kuputuskan berubah bukan berarti aku melupakanmu. Hanya saja, tak bisa selamanya kedua menjadi posisi dalam hidupku. Aku pun ingin tau apa rasanya menjadi yang utama, yang pertama. Hanya ingin tau saja apa rasanya. Itu saja. Dan aku berjanji akan kembali lagi setelah cukup merasakannya. 

Penuh air mata kujalani hidupku sebagai seorang obsessive compulsive disorder. Yang mereka lihat hidupku sangat bahagia. Yang mereka tau hidupku terlahir sempurna. Tawa yang mereka lihat sebenarnya hanya kamuflase saja. Bahkan ibu pun tak pernah tau bagaimana rupa tangisku yang sebenarnya. Semua itu kulakukan karena aku tak mau lagi jadi yang kedua.

Ternyata yang pertama juga tak selalu menyenangkan, ya. Aku baru tau bagaimana posisimu saat itu. Ternyata selama ini keegoisanlah yang menguasaiku. Namun, terlambat bagiku untuk memutar kembali waktu. Mereka terlanjur menuntut banyak padaku. Kenapa dulu aku selalu mempermasalahkan posisi? Padahal kita semua tercipta untuk saling melengkapi. Dan karena kebodohan itu, akhirnya kita menjauh...

Aku rindu saat kita bisa bercengkrama lagi, dan melakukan semuanya bersama-sama lagi...
Tapi sepertinya semua sudah sangat terlambat ya...
Dalam hitungan bulan menuju usiamu yang ke-21, kau akan memulai lembaran hidup yang baru... 
Yang mungkin akan meleburkan ingatan-ingatan masa lalu bersamaku...
Aku bahkan tak sempat bercerita banyak padamu. Hingga tiba hari itu, aku pun tak bisa pergi menemuimu...

Tapi, mendengar cerita ibuku bahwa kau terlihat sangat bahagia, cukuplah bagiku untuk percaya bahwa kau memang mendapatkan pasangan yang sempurna. Sungguh aku bahagia. Kenyataannya, memang aku ditakdirkan untuk berada di posisi kedua. Di belakangmu. Menunggumu hingga kau temukan dia yang jadi teman hidupmu. 

Kita memang yang memilih ke arah mana hidup ini akan berlabuh. Saat ini kau mungkin sedang tersenyum bahagia merancang pesta indah bersama pria yang mencintaimu. Sedangkan aku masih berkutat dengan tumpukan kertas dan buku-buku. Entah kapan aku bisa merasakan posisimu saat itu. Tapi kali ini aku tak lagi mempermasalahkan posisi ini-itu. Yang kutau, semakin kau mengejar kesempurnaan itu, semakin pula kau menyadari kesia-siaan terbentang di hadapanmu. 

Sepupuku, 
Kita harusnya sama...
Tapi, takdir membawa kita ke jalan yang berbeda...
Semoga pilihanmu adalah yang terbaik untuk hidupmu...
Tak perlu khawatir, aku sudah kembali.
Kukatakan padamu untuk sebentar saja merasakan posisi utama bukan?
Pada akhirnya, kau lah yang memang layak untuk posisi itu.
Kuharap kita bisa seperti 20 tahun yang lalu
Di mana kebahagiaan adalah satu-satunya hal yang kita tau 

Dari sepupumu, yang selalu mengagumimu...

0 comments:

Post a Comment