Dec 22, 2014 | By: Unknown

The Painkiller

Pagi tadi sebelum berangkat kuliah saya masih menyempatkan diri berkutat dengan cermin. Berusaha mencari mimik wajah yang tepat dan memilih ekspresi yang pas agar terkesan lebih siap menghadapi perkuliahan hari ini. Tak ada maksud untuk terlihat lebih menarik, hanya saja saya perlu waktu sedikit lama untuk mengumpulkan puing-puing semangat yang akhir-akhir ini semakin surut saja. Sambil menunggu teman sekelas yang juga satu kos dengan saya selesai dengan panggilan alamnya, saya memilih untuk duduk termenung di dekat balkon. Entahlah, saya tak tahu sebenarnya apa yang selama ini saya risaukan. Hanya saja, saya merasa ada yang mengganjal. Ada sesuatu yang tidak pas dan tidak sesuai pada posisinya. Tapi di mana letaknya hingga saat ini saya pun tak tahu pastinya. 

Sembari merenung otak saya berputar ke arah sebaliknya, menuju beberapa bulan yang lalu ketika awal-awal saya baru memasuki semester lima. Apa yang salah dengan semester ini saya pun tak tahu apa. Tapi saya merasa ada sesuatu yang tak beres yang perlahan mulai mengganggu kinerja belajar saya. Awalnya saya berpikir ini hanya hal sepele seputar masalah jetlag karena saya baru saja menikmati masa-masa kuliah yang menyenangkan selama di Korea. Namun, ternyata ini tak berhenti sampai disitu saja. Meskipun saya merasa sudah menjalankan perkuliahan sewajarnya, dengan usaha yang saya rasa sama saja intensitasnya untuk semester-semester sebelumnya, tetapi justru berbanding terbalik dengan hasil yang saya terima...

Awalnya saya mengira saya sedang dalam masa jenuh, masa di mana kegiatan perkuliahan menjadi sangat melelahkan dan memuakkan. Berhadapan dengan materi-materi yang bahkan dari awal itu sudah tak sejalan dengan keinginan saya. Memaksakan diri untuk memahami ini, memahami itu, yang... jujur sulit bagi saya untuk menyukainya. Tapi, ini konsekuensi yang harus saya terima. Saya tak mau jadi pecundang yang dengan seenaknya lepas dari tanggungjawab. Setidaknya ini pilihan saya, dan apapun yang terjadi saya harus melakukan apapun itu yang sudah menjadi pilihan saya. Prinsip yang saya pegang inilah yang kemudian menuntun saya untuk sukses dalam hal akademik hingga sampai ke semester tiga. Dengan motivasi bahwa saya harus bisa merasakan dunia luar dari hasil kerja keras saya. Saya berusaha untuk bangun ketika yang lain masih tertidur, saya memaksa berdiri ketika yang lain masih dengan santainya duduk-duduk saja, dan saya sudah berlari ketika yang lainnya baru mencoba untuk berdiri.

And it works!!!
Didukung motivasi karena jenuh mengikuti perkuliahan yang monoton yang tidak sejalan dengan keinginan saya, meskipun sedikit saya paksa, akhirnya saya menghabiskan semester 4 di Korea. Kala itu saya merasa dunia benar-benar sudah tidak wajar lagi memberikan kebahagiaan untuk saya. Mungkin ini lebih seperti euforia yang saya rasakan ketika mati-matian mengejar studi di luar negeri. Tapi memang, hidup saya benar-benar lurus. Tak ada kesusahan yang saya alami. Semuanya terlalu indah untuk saya terima...
Terdengar berlebihan memang, tapi jika kalian merasakan hal-hal sulit seperti yang saya alami beberapa tahun sebelumnya mungkin kalian akan berpikiran sama.

Namun, ketika saya menyelesaikan satu semester yang menyenangkan itu dan harus kembali menghadapi kehidupan yang sama lagi seperti dua tahun sebelumnya... saya seperti kehilangan tenaga. Awalnya tadi, saya berpikir saya sedang jenuh. Tapi... ini lebih dari sekedar kejenuhan yang melanda. Lebih jauh saya merasa dunia saya memang bukan di sini. Terdengar klise? Ya, mungkin. Kata-kata ini lebih terdengar seperti sebuah keputusasaan yang tak menemukan jalan keluar. Tapi tidak bagi saya. Saya masih percaya pada intuisi saya, yang ya... memang terkadang tak bisa diandalkan sih. Tapi entah kenapa saya tetap yakin. Yakin bahwa dunia saya memang bukan di sini, dalam arti bahwa lingkungan yang tepat untuk saya memang bukan di sini. Ini hanyalah anak tangga dengan ketinggian yang cukup tinggi untuk saya naiki agar bisa sampai ke tempat di mana seharusnya saya berada.

Diliputi kepercayaan seperti itu kemudian menjadi motivasi tersendiri buat saya untuk kembali menghadapi realita yang ada. Kembali kuliah di Indonesia, dan... menghadapi semester lima! Saya mengira saya sudah mengerahkan seluruh tenaga saya untuk melewati semester ini. Melakukan yang terbaik sebisa saya, karena tujuan yang ingin saya raih yaitu lulus secepat mungkin dengan predikat cumlaude dan kemudian melanjutkan studi ke tempat di mana seharusnya saya berada. Tapi ternyata proses tak selalu jadi penilaian utama. Terlalu idealis untuk berpikir seperti itu, kenyataannya hasil akhir selalu jadi segala-galanya. Di tambah dengan situasi di mana memang filosofi roda yang selalu berputar itu memang benar adanya. Mungkin ketika saya di Korea, roda kehidupan saya sedang berada di puncak-puncaknya, dan ketika kembali ke semester lima roda kehidupan saya sedang berputar menuju tingkat paling bawah.

Semester ini hasil belajar saya bisa dikatakan menurun drastis. Padahal, saya melakukan semua proses dengan benar. Saya belajar. Sangat giat malah. Apa mungkin saya lupa ibadah? Tapi saya selalu berdoa sebelum memulai apapun itu. Atau mungkin Tuhan sedang menguji saya? Ya, saya rasa demikian. 

Di mulai dari Ujian Tengah Semester mata kuliah Psikologi Kejahatan. Padahal saya sudah mempelajari seluruh materi yang ada, bahkan hingga ke analisis kasus yang butuh waktu lama untuk benar-benar memahaminya. Ternyata ketika ujian saya lupa membaca petunjuk pengerjaan soal yang harusnya dipilih salah satu saja tetapi saya malah mengerjakan dua-duanya. Dengan keterbatasan waktu, jelas tidak mungkin jawaban saya maksimal. Hingga akhirnya nilai ujian saya kurang memuaskan. Masih di mata kuliah yang sama, kali ini saya harus mengumpulkan tugas analisis kasus yang dikumpulkan dua minggu setelah ujian tengah semester. Naasnya, laptop saya rusak di saat genting-genting seperti itu. Akhirnya saya meminjam laptop teman saya dan mengerjakan tugas hingga paginya. Dan lagi-lagi, saya tidak tahu apa yang salah dengan otak saya. Tugas yang saya print justru tugas yang belum selesai saya edit ketika laptop saya rusak. Ditambah lagi niat awal bermaksud untuk mencetak halaman 16 saja, justru yang terjadi saya mencetak tugas sebanyak 16 copy. Peristiwa ini kemudian menjadi sangat sempurna ketika angkot yang saya naiki ke kampus mogok di tengah tanjakan hingga akhirnya saya berjalan kaki ke kampus dan TELAT. 

Yang terjadi selanjutnya saya langsung menyodorkan tugas itu tanpa memeriksa terlebih dahulu. Alhasil nilai saya benar-benar nol karena saya dituduh plagiat karena tidak mencantumkan sumber-sumber dari makalah saya. Padahal kenyataannya... itu tugas yang belum selesai saya kerjakan. Saat itu rasanya saya ingin menangis, ingin terjun dari lantai dua kalo bisa, tapi saya masih terlalu sayang dengan hidup saya untuk melakukan hal sekonyol itu. Jadinya, saya hanya bisa tersenyum getir. Ingin menangis, tapi anehnya saya justru lupa bagaimana caranya mengeluarkan air mata saat itu. Tak tau mau bagaimana karena memang ini salah saya. Saya hanya bisa diam... hasil akhir, ya... selalu hasil akhir yang dinilai.

Mata kuliah lainnya yaitu Kejahatan Keuangan. Kali ini tugas kelompok dan saya mengajukan diri untuk menjadi editor. Saya memang suka pekerjaan ini karena saya selalu memperhatikan hal-hal kecil seperti kerapian dan tata bahasa. Selain itu pekerjaan ini juga termasuk sulit karena harus mengedit bahasa di mana biasanya materi yang dikumpulkan hanya berupa materi mentah hasil copy paste. Menyebalkannya, anak-anak yang mengemban tugas paling krusial yaitu bagian kasus dan analisis masalah justru terkesan tidak memiliki tanggung jawab untuk mengerjakannya. Di saat-saat kritis mereka malah sibuk berkoar-koar dan tidak mengerjakan apa-apa. Saya yang merasa ini menyangkut nilai saya akhirnya memilih mengorbankan diri dengan tidak tidur hingga subuh untuk menyelesaikan tugas tersebut karena deadline memang keesokan harinya. Keseluruhan saya yang mengerjakan makalah, hingga keesokannya saya kelelahan. Ketika presentasi saya memilih diam karena saya lelah. Dan ternyata... justru yang dinilai adalah mereka yang bicara. Guess what??? Lagi lagi hasil akhir selalu yang jadi penilaian.

Ingin teriak sebenarnya, tapi saya sudah lelah untuk melakukan hal-hal seperti itu. Lagi-lagi saya memilih untuk diam. Mengalah adalah satu-satunya hal yang bisa saya lakukan. 
Kadang saya berpikir, kenapa dosen-dosen selalu menilai tingkat kepintaran mahasiswa dari sering atau tidaknya mereka berbicara? Apa kemudian mereka yang pandai beretorika menjadi parameter penilaian mereka yang benar-benar kompeten? Ah, saya lupa saya kuliah di mana. Jurusan sosial, wajar saja. Ini salah satu alasan kenapa saya sedikit menyesal memilih jurusan ini. Karena saya tipikal orang yang tak suka banyak bicara, saya tidak suka show up. Saya lebih suka bekerja di balik layar, lebih memilih praktik daripada menjual omongan belaka. Saya tahu siapa diri saya, harusnya dulu saya berpikir dua kali untuk masuk jurusan ini. Tapi, saya tekankan lagi bahwa ini adalah pilihan saya. Dan apapun itu jadi tanggungjawab yang harus saya selesaikan.

Jujur saya lelah. Lelah sekali hingga saya tak tahu setiap paginya apa yang bisa membuat saya tersenyum bahagia. Keluarga? Tentu saja. Mereka satu-satunya yang selalu saya jaga di hati dan pikiran saya. Karena merekalah alasan saya untuk tetap bertahan dengan semua kehidupan yang terkadang terasa sangat berat. Karena mereka saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa beban tak kan pernah salah memilih pundak. Ada rencana lain yang sudah dipersiapkan Tuhan untuk semua kesulitan ini. Tapi... posisi saya terlalu jauh dari keluarga saya. Bahkan untuk melihat senyuman adik-adik saya pun saya harus menunggu beberapa minggu untuk bisa skype dengan mereka. Terkadang justru di saat-saat seperti ini yang saya butuhkan hanya melihat keluarga saya tersenyum bahagia. Cukup itu saja. Terkadang saya juga sedih, hidup sebagai rantauan sejak SMP yang jauh dari orang tua membuat saya harus benar-benar bertanggungjawab dengan kehidupan saya. Saya tidak mau mengecewakan mereka karena mereka sudah berjuang keras untuk membiayai hidup saya. Namun, ketika melihat hasil yang saya peroleh di semester lima sejauh ini benar-benar membuat saya sedih, merasa bersalah dengan orang tua saya. Padahal saya sudah berusaha... hanya saja prosesnya mungkin tidak masuk hitungan akademik. Tapi saya percaya ada perhitungan yang lebih adil di balik ini semua.


Sekali lagi saya hanya bisa diam.
Diam adalah cara favorit saya untuk meluapkan emosi, masalah, keluh kesah, dan kesedihan saya. Parahnya, terlalu lama diam membuat saya kesulitan untuk menangis. Pernah saya mencoba untuk meredakan emosi dengan menangis tetapi ternyata sulit untuk mengeluarkan air mata. Malah, sangat mudah bagi saya untuk mengeluarkan air mata ketika menonton serial drama atau film animasi. Tapi akhir-akhir ini saya lebih sering menangis, mungkin memang sudah saatnya untuk menangis. Biasanya ketika saya sedang menatap langit malam dari balik jendela kamar, sambil bercerita pada Allah saya menangis. Awalnya hanya berupa isakan kecil, tapi lama kelamaan tangis saya semakin menjadi...

Jujur saya tak punya tempat untuk berbicara masalah seperti ini dengan siapapun. Pernah saya ceritakan sebelumnya, saya mulai seperti ini ketika saya merasa memang tak ada yang bisa mengerti saya. Saya sempat mencoba untuk bicara dengan orang tua saya, tapi... mereka tak boleh mendengar bahwa anaknya sedang bersedih. Saya tak mau orang tua saya juga sedih. Posisi saya dan keluarga saya yang sangat jauh membuat saya tak ingin menjadi beban pikiran untuk mereka. Intinya, saya harus memastikan bahwa saya di sini baik-baik saja supaya mereka tenang dan tak banyak pikiran. Saya juga pernah mencoba bicara dengan teman dekat saya, yang saya anggap seperti keluarga saya sendiri. Sedihnya justru dia merasa aneh dengan kelakuan saya dan mengganggap saya seperti orang yang sakit jiwa. Saya tak tau apa yang salah, padahal... saya hanya butuh untuk didengarkan saja. Tampaknya memang saya tak punya tempat untuk bicara selain kepada Dia yang telah menciptakan saya.

Seperti malam ini. Ketika baru saja  pulang kuliah dan saya kelelahan kuliah dari pagi ditambah masalah mekanis di kampus dan kelompok saya tidak bisa melakukan presentasi. Ketika orang-orang terkesan menyalahkan saya, ketika semuanya menjadi sangat buruk, ketika semuanya menjadi sangat kelabu dan saya merasa kerja keras saya tak ada artinya.... saya butuh untuk didengarkan... 
Bahkan ketika saya mencoba untuk bicara dengan ibu saya lagi-lagi saya tak sanggup untuk berkeluh kesah. Di hari ibu ini tidak sepantasnya saya membuat ibu saya sedih dengan apa yang saya alami. Di sela-sela suara ibu saya di sana, saya mencoba menyamarkan isak tangis saya dengan berpura-pura sedang duduk di dekat kipas angin. Berpura-pura tertawa padahal air mata ini tak henti-hentinya mengalir. Berusaha menyusun kalimat setegar mungkin agar isak tangis ini tidak terdengar. Berusaha berkomunikasi senormal mungkin meskipuan suara ini hampir terdengar serak. Cukup mendengarkan ibu saya tertawa, itu sudah cukup bagi saya untuk bahagia... 
Pembicaraan saya dan ibu saya akhirnya terputus karena kehabisan pulsa. Tapi sudah cukup bagi saya mengetahui bahwa ibu saya baik-baik saja, bahkan ibu saya sangat bahagia karena bisa menghabiskan liburannya dengan jalan-jalan di Jakarta. Saya tak bisa dan tak mau merusak kebahagiaan itu dengan menceritakan kesedihan saya.

Dan malam ini... 
Saya kembali ke ritual lama. 
Duduk di dekat jendela, memandangi langit malam yang selalu tampak bersahabat. Mengadu kepada Dia yang selalu jadi obat penenang. Berbicara apapun itu tanpa bisa ditahan, tanpa takut ada rahasia yang akan terbongkar. Sungguh, Dia Yang Maha Penyayang, telah memberikan ajaran untuk saya bagaimana menjadi sosok yang harus tegar. Selalu mengalah, selalu memaafkan, selalu memilih jalan yang benar. Awalnya saya merasa semua ini terdengar tidak adil untuk saya. Tapi jauh dibalik itu justru saya salah besar. Saya bersyukur Allah masih sangat-sangat menyayangi saya melalui ujian-Nya. Ujian yang diberikan Allah saat ini bukanlah hal seberapa dibandingkan dengan nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya. Dibalik ini saya yakin Allah mempersiapkan sesuatu yang sangat indah ketika saya berhasil melewati ujian dari Nya. Ujian Tengah Semester, nilai makalah, tugas kelompok, tugas presentasi, bukanlah hal sebanding untuk diratapi dibandingkan dengan apa yang telah dipersiapkan Allah nantinya. Pada intinya, saya berakhir pada kesimpulan bahwa tak ada yang luput dari penilaian Allah. Tak hanya menilai proses, bahkan dari niat sekalipun masuk perhitungan oleh Allah. Harusnya tak ada yang perlu saya khawatirkan, saya mengerjakannya dengan proses yang benar, dengan niat yang baik, meskipun terkadang hasilnya memang tidak seperti yang diharapkan. Tetapi Allah Maha Adil. Dan tak ada yang perlu disesali ketika saya melakukan hal yang benar. 


Terima kasih ya Allah atas teguran-teguran-Mu
Terima kasih karena Engkau masih menyayangi hambaMu yang terkadang sering luput dari kesalahan. 
Terima kasih atas ajaran-ajaran yang Engkau selipkan melalui berbagai peristiwa kehidupan. 
Terima kasih atas segala nikmatMu yang terkadang jarang disyukuri.
Terima kasih untuk selalu menjaga kedua orang tua dan adik-adik hamba di sana...
Terima kasih untuk semua yang telah Engkau berikan
Semoga hamba bisa menjadi orang yang selalu pandai bersyukur dan belajar menjadi lebih baik



0 comments:

Post a Comment